16 Maret 2009

Hot...and Much Hotter...!

Woahhh….guys! long time no see!

Fiuhh…bener-bener kebangetan aku ni! Untuk kesekian kalinya ajang narsis blog-ku ini kutinggalakan berminggu-minggu lamanya tanpa nafkah batin dan biologis (halah…emang istri!?). Sungguh naifnya diriku sekarang kalau nginget-nginget ikrar setia sehidup semati pada jaman dahulu kala untuk menghidupi blog ini dengan tawakal dan istiqomah. Yah… apa adaya memang, rutinitas yang menyita waktu dengan bejatnya (sampai-sampai menghilangkan jatah tidur siangku) tak bisa kutangkis semenjak mulai aktif menghidupi dua organisasi yang means a lot for me.

Emang bener, semenjak aku hadir mengisi dinamika kehidupan Medical Record Family (it used to be Basecamp Rekmed) dan Dept. PSDM BEM FMIPA UGM, sepertinya ruang nafas having fun-ku dan segala bentuk males-malesan lainnya semakin dipersempit. Sekarang aku lebih banyak memikirkan agenda-agenda yang sudah dan akan dibuat di kedua organisasi itu. Nggak jarang aku sampai-sampai terbawa untuk merencanakan rutinitasku dalam satu hari demi bisa meluangkan waktu untuk meramaikan semacam kumpulan mahasiswa serius yang biasa mereka sebut rapat. Begitu juga dengan kuliah, niatku untuk memperbaiki segala bentuk kenistaan hidup mahasiswa berbentuk males kuliah, males nyatet, males garap tugas, dan males merhatiin dosen yang dari semester III sering kudengungkan dalem hati (dan ternyata gak ngefek sampai sekarang) ikut-ikutan juga memberatkan langkahku dalam menjalani rutinitas setiap hari yang biasa kulewati dengan perasaan bebas. Mulai sekarang kayaknya nggak bakalan ada lagi yang namanya tidur siang lama-lama di kos tercinta setelah pulang kuliah, atau nge-game lama-lama bareng Stefany, ataupun nonton film gak jelas bareng Stefany.

Bukan, tulisan di atas bukanlah bentuk protesku pada rutinitasku yang semakin sesak dengan berbagai kegiatan. Bukan pula teriakkan suara hatiku karena terenggutnya segala candu kesenangan setelah kuliah. Juga bukan tulisan untuk menyombongkan diri karena aku jadi orang sok sibuk. Lebih dari itu, aku hanya ingin ini semua menjadi semacam flashback hati dan otakku, menjadi semacam muhasabah untuk kehidupan masa depanku nanti yang insyaAlloh lebih cerah, menjadi guru dari masa laluku dan cambuk buatku untuk menjadi semakin baik lagi setiap hari. Yah…semoga saja cita-citaku mencanangkan tahun 2009 ini sebagai tahun perubahan dapat tercapai. Senggaknya, aku bisa pulih dan bangkit dalam bidang kuliah dan organisasi. itu saja, biar yang lain mengikuti dengan sendirinya.

Move on to other topics….

Buat semua orang yang saat ini tinggal di Djokja pasti sepakat denganku:

“EDAN, Dab! Sekarang Jogja puanas buanget…!!!”

Buat yang nggak ngerasa pastilah itu hanya segelintir orang yang benar-benar beruntung setiap harinya bisa bertemu dengan alat ajaib yang bernama AC, atau kalau nggak orang-orang yang doyan banget panas matahari kaya’ bule-bule di pantai. Aku sebagai seorang bocah yang alergi banget sama yang namanya sumuk, gerah, kepanasan, apapun itu namanya pastinya sangat merasakan perubahan drastis ini. Dari yang bulan Januari kemarin hujan deres-deresnya setiap sore, intensitasnya sedikit-sedikit mulai berkurang sampai akhirnya bener-bener habis tu air hujan, kering kerontang tu awan pada bulan Maret ini. Dan alat yang paling berjasa di kosan sekarang ini, yang selalu menyambutku setelah pulang kuliah, yang selalu menemaniku tidur bertelanjang dada, apalagi kalau bukan mini desk fan oleh-oleh Bapak dari Purwokerto. Huff…so lucky I owned that thing.

Satu hal yang paling membuatku bahagia dari summer-like season ini adalah…BULAN. Simply, it just remind me to someone in somewhere. Kalau ngeliat benda langit yang satu ini pas langit cerah-cerahnya, ditemani jutaan bintang, jadi teringat cerita-cerita (nyaris) manis waktu dulu. Saat dia menjadi bulan dan aku menjadi bintang. Saat masih ada sinar asa seterang bintang di dalam hatiku. Bah…ngomongin apa lagi ni yak? Ngelantur nggak jelas. Tapi, walau bahagia banget bisa lihat bulan dan bintang main bareng lagi di langit, I still miss one thing that makes me peaceful, yaitu Hujan. Yah…aku masih belum rela hujan, biar cuma gerimis pergi begitu saja saat aku lagi ilfil dengan panas bumi yang sangat absurd sekarang ini. Aku masih belum rela kalau cuma dengerin lagu Hujannya Utopia dengan perasaan hampa, kosong tanpa ada aura kesejukan yang khas yang cuma bisa dibuat oleh hujan. Dan aku semakin nggak rela kalau panas ini berkepanjangan dan hujan tak kunjung datang.

08 Februari 2009

Fatwa Golput dan Hubungan Demokrasi dengan Kesejahteraan

Perdebatan di seputar fatwa haramnya golput oleh MUI beberapa waktu lalu tampaknya masih belum mereda. Pasalnya, MUI sendiri—juga mereka yang berkepentingan terhadap suksesnya Pemilu 2009—seperti melupakan alasan utama di balik kemungkinan maraknya golput pada Pemilu 2009 nanti.

Di luar alasan teknis Pemilu—seperti tidak terdatanya sejumlah calon pemilih—setidaknyaada dua alasan mengapa sebagian masyarakat memilih golput. Pertama: alasan ekonomi. Intinya, sebagian kalangan yang memilih golput sudah semakin sadar, bahwa Pemilu, termasuk Pilkada, tidak menjanjikan kesejahteraan apapun bagi rakyat. Bagi mereka, selama ini terpilihnya para wakil rakyat, kepala daerah, atau presiden dan wakil presiden yang serba baru tidak membawa perubahan apa-apa yang bisa sedikit saja meningkatkan kesejahteraan rakyat. Padahal sebagaimana dikatakan pengamat politik J. Kristiadi, “Harapan masyarakat sebenarnya sederhana. Begitu mereka nyoblos atau mencontreng, kesejahteraan mereka bisa menjadi lebih baik dengan pemerintahan terpilih. Kenyataannya, ada ruang yang sangat luas dan terkadang manipulatif (menipu, red.) antara Pemilu dan kesejahteraan itu.” (Kompas, 2/2/2009).

Kedua: alasan ideologis. Bagi calon pemilih yang golput dengan alasan ini, Pemilu (baca:demokrasi) tidak akan pernah menjanjikan perubahan apapun. Pasalnya, demokrasi hanya semakin mengkokohkan sekularisme. Padahal sekularismelah yang selama ini menjadi biang dari segala krisis yang terjadi. Sekularisme sendiri adalah sebuah keyakinan dasar (akidah) yang menyingkirkan peran agama dari kehidupan. Dalam konteks Indonesia yang mayoritas Muslim, sekularisme telah nyata menjauhkan syariah Islam untuk mengatur segala aspek kehidupan masyarakt (ekonomi, politik, pendidikan, peradilan, sosial, dll).

Padahal mayoritas rakyat Indonesia yang Muslim sesungguhnya menyetujui penerapan syariah Islam itu di negeri ini. Hal ini sudah dibuktikan oleh berbagai survey yang dilakukan oleh sejumlah lembaga survey, seperti PPIM UIN Syarif Hidayatullah (2001), Majalah Tempo (2002), Roy Morgan Research (2008), SEM Institute (2008), LSM Setara (2008), dll yang rata-rata menunjukkan bahwa 70-80% masyarakat Indonesia setuju dengan penerapan syariah Islam dalam negara. Dalam hal ini, pengamat politik Bima Arya mengatakan, adanya survey yang menyebutkan mayoritas masyarakat di Indonesia mendukung syariah memang cukup masuk akal. “Itu terjadi karena ada kejenuhan dari masyarakat terhadap sistem yang ada,” ujarnya (Eramuslim, 19/12/08).

Pertanyaannya, jika mayoritas masyarakat saat ini pro-syariah, lalu mengapa partai-partai Islam tetap kalah dari partai-partai sekular pada Pemilu 2004 lalu dan kemungkinan juga pada Pemilu 2009 nanti? Jawabannya, karena boleh jadi mereka melihat tidak adanya satu partai Islam pun yang sungguh-sungguh memperjuangkan penerapan syariah Islam di Indonesia. Barangkali, karena itulah, di antara mereka yang pro-syariah ini lebih memilih golput. Walhasil, kenyataan inilah yang seharusnya dipahami oleh MUI terlebih dulu—juga oleh para tokoh, ulama, politikus, ormas, dan terutama parpol peserta pemilu—yang menolak golput.

Lebih dari sekadar keinginan mayoritas umat Islam di atas, penegakkan syariah Islam secara kaffah dalam negara tentu merupakan kewajiban dari Allah SWT yang dibebankan kepada kaum Muslim. Kewajiban inilah yang sesungguhnya lebih layak difatwakan oleh MUI dan tentu selaras dengan fatwa MUI tahun 2005 yang telah memfatwakan haramnya sekularisme.



Demokrasi: Memiskinkan Rakyat

Kondisi masyarakat yang miskin alias tidak sejahtera jelas dialami oleh sebagian rakyat Indonesia saat ini. Padahal semua orang tahu, Indonesia adalah negeri yang kaya-raya. Seluruh jenis barang tambang nyaris ada di Indonesia. Minyak bumi, tembaga, gas, batu bara, emas, dan beberapa yang lain bahkan ada di negeri ini dengan kadar yang melimpah. Kekayaan laut Indonesia berupa ikan dan hasil-hasil laut lainnya juga luar biasa. Indonesia pun memiliki areal hutan tropis yang sangat luas. Dengan semua kekayaan alam yang melimpah-ruah itu, rakyat Indonesia seharusnya makmur dan sejahtera, dan tidak ada yang miskin.

Namun, akibat diterapkannya sistem ekonomi kapitalis sejak negara ini merdeka, sebagian besar kekayaan alam yang melimpah-ruah itu hanya dinikmati oleh segelintir orang, yang sebagian besarnya bahkan pihak asing. Contoh kecil: di Bumi Papua, kekayaan tambang emasnya setiap tahun menghasilkan uang sebesar Rp. 40 triliun. Sayangnya, kekayaan tersebut 90%-nya dinikmati perusahaan asing (PT Freeport) yang sudah lebih dari 40 tahun menguasai tambang ini. Wajarlah jika gaji seorang CEO PT Freeport Indonesia mencapai sekitar Rp. 432 miliar pertahun (atau sama dengan Rp. 36 miliar perbulan atau rata-rata Rp. 1,4 miliar perhari). Padahal, rakyat Papua sendiri hingga saat ini hanya berpenghasilan rata-rata Rp. 2 juta saja pertahun (sama dengan Rp. 167 ribu perbulan). Pemerintah Indonesia pun hanya mendapatkan royalti dan pajak yang tak seberapa dari penghasilan PT Freeport yang luar biasa itu (Jatam.org 30/3/07).

Di Kaltim, batubara diproduksi sebanyak 52 juta meter kubik pertahun; emas 16,8 ton pertahun; perak 14 ton pertahun; gas alam 1,650 miliar meter kubik pertahun (2005); minyak bumi 79,7 juta barel pertahun, dengan sisa cadangan masih sekitar 1,3 miliar barel. Namun, dari sekitar 2,5 juta penduduk Kaltim, sekitar 313.040 orang (12,4 persen) tergolong miskin.

Di Aceh,cadanga gasnya mencapai 17,1 triliun kaki kubik. Hingga tahun 2002, sudah 70 persen cadangan gas di wilayah ini dikuras oleh PT Arun LNG dengan operator PT ExxonMobile Oil yang sudah berdiri sejak 1978. Namun, Aceh menempati urutan ke-4 sebagai daerah termiskin di Indonesia. Jumlah penduduk miskinnya sekitar 28,5 persen.

Itulan secuil fakta ironis di negeri ini, yang puluhan tahun menerapkan demokrasi, bahkan terakhir disebut-sebut sebagai salah satu negara paling demokratis di dunia.

Ironi ini sebetulnya mudah dipahami karena watak demokrasi di manapun, termasuk di negeri ini, secara faktual selalu berpihak kepada para kapitalis/ pemilik modal. Demokrasi di negeri ini, misalnya, telah melahirkan banyak UU dan peraturan yang lebih berpihak pada konglomerat, termasuk asing. Di antaranya adalah melalui kebijakan swastanisasi dan privatisasi. Kebijakan ini dilegalkan oleh UU yang notabene produk DPR atau oleh Peraturan Pemerintah yang dibuat oleh Presiden sebagai pemegang amanah rakyat. UU dan peraturan tersebut memungkinkan pihak swasta terlibat dalam pengelolaan (baca:penguasaan) kekayaan milik rakyat. Sejak tahun 60-an Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (UU No. 6/1968). UU ini memberikan peluang kepada perusahaan swasta untuk menguasai 49 persen saham di sektor-sektor milik publik, termasuk BUMN. Tahun 90-an Pemerintah kemudian mengeluarkan PP No. 20/1994 yang isinya antara lain ketentuan bahwa investor asing boleh menguasai modal di sektor-sektor milik publik, termauk BUMN hingga 95 persen.

Secara tidak langsung demokrasi juga sering menjadi pintu bagi masuknya intervensi para pemilik modal, bahkan para kapitalis asing. Lahirnya UUD amandemen 2002 adalah kran awal dari intervensi asing dalam perundang-undangan. Ditengarai ada dana asing USD 4,4 miliar dari AS untuk mendanai proyek di atas. Hasilnya, lahirlah UU Migas, UU Listrik, dan UU Sumber Daya Air (SDA) yang sarat dengan kepentingan asing. Dampaknya tentu saja adalah semakin leluasanya pihak asing untuk merampok sumber-sumber kekayaan alam negeri ini, yang notabene milik rakyat. Dampak lanjutannya, rakyat bakal semakin merana, karena hanya menjadi pihak yang selalu dikorbankan, hanya menjadi ‘tumbal’ demokrasi, yang ironisnya selalu mengatasnamakan rakyat.



Kesejahteraan Rakyat Tercipta Hanya dengan Penerapan Syariah Islam

Dengan sedikit paparan di atas, jelas bahwa jika memang semua kalangan menghendaki terwujudnya kesejahteraan rakyat—sebagaimana yang juga sering dijanjikan oleh para caleg dan elit parpol setiap kali kampanye menjelang Pemilu—maka tidak ada cara lain kecuali seluruh komponen bangsa ini harus berani mencampakkan sekularisme, yang menjadi dasar dari sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalis yang terbukti gagal menyejahterakan rakyat. Selanjutnya, seluruh komponen bangsa ini harus segera menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam negara, baik dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, peradilan, sosial, keamanan dan pertahanan, dll. Yakinlah, hanya dalam negara yang menerapkan syariah Islam secara kaffah-lah—yang dalam sistem politik Islam disebut dengan sistem Khilafah—kesejahteraan rakyat akan benar-benar terwujud.

Bukti historis menunjukkan, sistem syariah telah mampu menciptakan kesejahteraan bagi jutaan manusia pada setiap kurun kekhilafahan Islam pada masa lalu selama berabad-abad, tanpa pernah mengenal kata krisis.

Pada masa kekhilafahan Umar bin al-Khaththab ra. (13-23 H/ 634-644 M), misalnya, hanya dalam waktu 10 tahun masa pemerintahannya, kesejahteraan rakyat merata ke segenap penjuru negeri. Pada masanya, di Yaman, misalnya Muadz bin Jabal sampai kesulitan menemukan seorang miskin pun yang layak diberi zakat (Al-Qaradhawi, 1995).

Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/ 818-820 M), hanya dalam 3 tahun umat Islam terus mengenangnya sebagai khalifah yang berhasil menyejahterakan rakyat. Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu, berkata, “Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikannya kepada orang-orang miskin. Namun, saya tidak menjumpai seorang miskin pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan.” (Ibnu Abdil Hakam, Sirah ‘Umar bin Abdul ‘Aziz, hlm.59). Pada masanya pula, kemakmuran tidak hanya ada di Afrika, tetapi juga merata di seluru penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Bashrah (Abu Ubaid, Al-amwal, hlm.256).

Mahabenar Allah yang berfirman, yang artinya:

"Seandainya penduduk negeri beriman dan bertakwa, Kami pasti akan membukakan pintu keberkahan bagi mereka dari langit dan bumi"

(QS. Al-A’raf [7]:96).

Wallahu a’lam bi ash-shawab.



Disadur dari Buletin Dakwah Al Islam edisi 441/XV

06 Februari 2009

Bersih2 Basecamp MRF Bareng-bareng!!!

Kemaren abiz bersih2 basecamp rame-rame. Ga rame-rame amat sih, sebab gada anak 2008 yang dateng selain Suriani! Aku, Prise, Edi, Arip, Titis, Nungky, dan kawan-kawan cape'-cape'an ria bergulat dengan debu dan kotoran. Ni photo-photo narsisnya: