08 Februari 2009

Fatwa Golput dan Hubungan Demokrasi dengan Kesejahteraan

Perdebatan di seputar fatwa haramnya golput oleh MUI beberapa waktu lalu tampaknya masih belum mereda. Pasalnya, MUI sendiri—juga mereka yang berkepentingan terhadap suksesnya Pemilu 2009—seperti melupakan alasan utama di balik kemungkinan maraknya golput pada Pemilu 2009 nanti.

Di luar alasan teknis Pemilu—seperti tidak terdatanya sejumlah calon pemilih—setidaknyaada dua alasan mengapa sebagian masyarakat memilih golput. Pertama: alasan ekonomi. Intinya, sebagian kalangan yang memilih golput sudah semakin sadar, bahwa Pemilu, termasuk Pilkada, tidak menjanjikan kesejahteraan apapun bagi rakyat. Bagi mereka, selama ini terpilihnya para wakil rakyat, kepala daerah, atau presiden dan wakil presiden yang serba baru tidak membawa perubahan apa-apa yang bisa sedikit saja meningkatkan kesejahteraan rakyat. Padahal sebagaimana dikatakan pengamat politik J. Kristiadi, “Harapan masyarakat sebenarnya sederhana. Begitu mereka nyoblos atau mencontreng, kesejahteraan mereka bisa menjadi lebih baik dengan pemerintahan terpilih. Kenyataannya, ada ruang yang sangat luas dan terkadang manipulatif (menipu, red.) antara Pemilu dan kesejahteraan itu.” (Kompas, 2/2/2009).

Kedua: alasan ideologis. Bagi calon pemilih yang golput dengan alasan ini, Pemilu (baca:demokrasi) tidak akan pernah menjanjikan perubahan apapun. Pasalnya, demokrasi hanya semakin mengkokohkan sekularisme. Padahal sekularismelah yang selama ini menjadi biang dari segala krisis yang terjadi. Sekularisme sendiri adalah sebuah keyakinan dasar (akidah) yang menyingkirkan peran agama dari kehidupan. Dalam konteks Indonesia yang mayoritas Muslim, sekularisme telah nyata menjauhkan syariah Islam untuk mengatur segala aspek kehidupan masyarakt (ekonomi, politik, pendidikan, peradilan, sosial, dll).

Padahal mayoritas rakyat Indonesia yang Muslim sesungguhnya menyetujui penerapan syariah Islam itu di negeri ini. Hal ini sudah dibuktikan oleh berbagai survey yang dilakukan oleh sejumlah lembaga survey, seperti PPIM UIN Syarif Hidayatullah (2001), Majalah Tempo (2002), Roy Morgan Research (2008), SEM Institute (2008), LSM Setara (2008), dll yang rata-rata menunjukkan bahwa 70-80% masyarakat Indonesia setuju dengan penerapan syariah Islam dalam negara. Dalam hal ini, pengamat politik Bima Arya mengatakan, adanya survey yang menyebutkan mayoritas masyarakat di Indonesia mendukung syariah memang cukup masuk akal. “Itu terjadi karena ada kejenuhan dari masyarakat terhadap sistem yang ada,” ujarnya (Eramuslim, 19/12/08).

Pertanyaannya, jika mayoritas masyarakat saat ini pro-syariah, lalu mengapa partai-partai Islam tetap kalah dari partai-partai sekular pada Pemilu 2004 lalu dan kemungkinan juga pada Pemilu 2009 nanti? Jawabannya, karena boleh jadi mereka melihat tidak adanya satu partai Islam pun yang sungguh-sungguh memperjuangkan penerapan syariah Islam di Indonesia. Barangkali, karena itulah, di antara mereka yang pro-syariah ini lebih memilih golput. Walhasil, kenyataan inilah yang seharusnya dipahami oleh MUI terlebih dulu—juga oleh para tokoh, ulama, politikus, ormas, dan terutama parpol peserta pemilu—yang menolak golput.

Lebih dari sekadar keinginan mayoritas umat Islam di atas, penegakkan syariah Islam secara kaffah dalam negara tentu merupakan kewajiban dari Allah SWT yang dibebankan kepada kaum Muslim. Kewajiban inilah yang sesungguhnya lebih layak difatwakan oleh MUI dan tentu selaras dengan fatwa MUI tahun 2005 yang telah memfatwakan haramnya sekularisme.



Demokrasi: Memiskinkan Rakyat

Kondisi masyarakat yang miskin alias tidak sejahtera jelas dialami oleh sebagian rakyat Indonesia saat ini. Padahal semua orang tahu, Indonesia adalah negeri yang kaya-raya. Seluruh jenis barang tambang nyaris ada di Indonesia. Minyak bumi, tembaga, gas, batu bara, emas, dan beberapa yang lain bahkan ada di negeri ini dengan kadar yang melimpah. Kekayaan laut Indonesia berupa ikan dan hasil-hasil laut lainnya juga luar biasa. Indonesia pun memiliki areal hutan tropis yang sangat luas. Dengan semua kekayaan alam yang melimpah-ruah itu, rakyat Indonesia seharusnya makmur dan sejahtera, dan tidak ada yang miskin.

Namun, akibat diterapkannya sistem ekonomi kapitalis sejak negara ini merdeka, sebagian besar kekayaan alam yang melimpah-ruah itu hanya dinikmati oleh segelintir orang, yang sebagian besarnya bahkan pihak asing. Contoh kecil: di Bumi Papua, kekayaan tambang emasnya setiap tahun menghasilkan uang sebesar Rp. 40 triliun. Sayangnya, kekayaan tersebut 90%-nya dinikmati perusahaan asing (PT Freeport) yang sudah lebih dari 40 tahun menguasai tambang ini. Wajarlah jika gaji seorang CEO PT Freeport Indonesia mencapai sekitar Rp. 432 miliar pertahun (atau sama dengan Rp. 36 miliar perbulan atau rata-rata Rp. 1,4 miliar perhari). Padahal, rakyat Papua sendiri hingga saat ini hanya berpenghasilan rata-rata Rp. 2 juta saja pertahun (sama dengan Rp. 167 ribu perbulan). Pemerintah Indonesia pun hanya mendapatkan royalti dan pajak yang tak seberapa dari penghasilan PT Freeport yang luar biasa itu (Jatam.org 30/3/07).

Di Kaltim, batubara diproduksi sebanyak 52 juta meter kubik pertahun; emas 16,8 ton pertahun; perak 14 ton pertahun; gas alam 1,650 miliar meter kubik pertahun (2005); minyak bumi 79,7 juta barel pertahun, dengan sisa cadangan masih sekitar 1,3 miliar barel. Namun, dari sekitar 2,5 juta penduduk Kaltim, sekitar 313.040 orang (12,4 persen) tergolong miskin.

Di Aceh,cadanga gasnya mencapai 17,1 triliun kaki kubik. Hingga tahun 2002, sudah 70 persen cadangan gas di wilayah ini dikuras oleh PT Arun LNG dengan operator PT ExxonMobile Oil yang sudah berdiri sejak 1978. Namun, Aceh menempati urutan ke-4 sebagai daerah termiskin di Indonesia. Jumlah penduduk miskinnya sekitar 28,5 persen.

Itulan secuil fakta ironis di negeri ini, yang puluhan tahun menerapkan demokrasi, bahkan terakhir disebut-sebut sebagai salah satu negara paling demokratis di dunia.

Ironi ini sebetulnya mudah dipahami karena watak demokrasi di manapun, termasuk di negeri ini, secara faktual selalu berpihak kepada para kapitalis/ pemilik modal. Demokrasi di negeri ini, misalnya, telah melahirkan banyak UU dan peraturan yang lebih berpihak pada konglomerat, termasuk asing. Di antaranya adalah melalui kebijakan swastanisasi dan privatisasi. Kebijakan ini dilegalkan oleh UU yang notabene produk DPR atau oleh Peraturan Pemerintah yang dibuat oleh Presiden sebagai pemegang amanah rakyat. UU dan peraturan tersebut memungkinkan pihak swasta terlibat dalam pengelolaan (baca:penguasaan) kekayaan milik rakyat. Sejak tahun 60-an Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (UU No. 6/1968). UU ini memberikan peluang kepada perusahaan swasta untuk menguasai 49 persen saham di sektor-sektor milik publik, termasuk BUMN. Tahun 90-an Pemerintah kemudian mengeluarkan PP No. 20/1994 yang isinya antara lain ketentuan bahwa investor asing boleh menguasai modal di sektor-sektor milik publik, termauk BUMN hingga 95 persen.

Secara tidak langsung demokrasi juga sering menjadi pintu bagi masuknya intervensi para pemilik modal, bahkan para kapitalis asing. Lahirnya UUD amandemen 2002 adalah kran awal dari intervensi asing dalam perundang-undangan. Ditengarai ada dana asing USD 4,4 miliar dari AS untuk mendanai proyek di atas. Hasilnya, lahirlah UU Migas, UU Listrik, dan UU Sumber Daya Air (SDA) yang sarat dengan kepentingan asing. Dampaknya tentu saja adalah semakin leluasanya pihak asing untuk merampok sumber-sumber kekayaan alam negeri ini, yang notabene milik rakyat. Dampak lanjutannya, rakyat bakal semakin merana, karena hanya menjadi pihak yang selalu dikorbankan, hanya menjadi ‘tumbal’ demokrasi, yang ironisnya selalu mengatasnamakan rakyat.



Kesejahteraan Rakyat Tercipta Hanya dengan Penerapan Syariah Islam

Dengan sedikit paparan di atas, jelas bahwa jika memang semua kalangan menghendaki terwujudnya kesejahteraan rakyat—sebagaimana yang juga sering dijanjikan oleh para caleg dan elit parpol setiap kali kampanye menjelang Pemilu—maka tidak ada cara lain kecuali seluruh komponen bangsa ini harus berani mencampakkan sekularisme, yang menjadi dasar dari sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalis yang terbukti gagal menyejahterakan rakyat. Selanjutnya, seluruh komponen bangsa ini harus segera menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam negara, baik dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, peradilan, sosial, keamanan dan pertahanan, dll. Yakinlah, hanya dalam negara yang menerapkan syariah Islam secara kaffah-lah—yang dalam sistem politik Islam disebut dengan sistem Khilafah—kesejahteraan rakyat akan benar-benar terwujud.

Bukti historis menunjukkan, sistem syariah telah mampu menciptakan kesejahteraan bagi jutaan manusia pada setiap kurun kekhilafahan Islam pada masa lalu selama berabad-abad, tanpa pernah mengenal kata krisis.

Pada masa kekhilafahan Umar bin al-Khaththab ra. (13-23 H/ 634-644 M), misalnya, hanya dalam waktu 10 tahun masa pemerintahannya, kesejahteraan rakyat merata ke segenap penjuru negeri. Pada masanya, di Yaman, misalnya Muadz bin Jabal sampai kesulitan menemukan seorang miskin pun yang layak diberi zakat (Al-Qaradhawi, 1995).

Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/ 818-820 M), hanya dalam 3 tahun umat Islam terus mengenangnya sebagai khalifah yang berhasil menyejahterakan rakyat. Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu, berkata, “Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikannya kepada orang-orang miskin. Namun, saya tidak menjumpai seorang miskin pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan.” (Ibnu Abdil Hakam, Sirah ‘Umar bin Abdul ‘Aziz, hlm.59). Pada masanya pula, kemakmuran tidak hanya ada di Afrika, tetapi juga merata di seluru penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Bashrah (Abu Ubaid, Al-amwal, hlm.256).

Mahabenar Allah yang berfirman, yang artinya:

"Seandainya penduduk negeri beriman dan bertakwa, Kami pasti akan membukakan pintu keberkahan bagi mereka dari langit dan bumi"

(QS. Al-A’raf [7]:96).

Wallahu a’lam bi ash-shawab.



Disadur dari Buletin Dakwah Al Islam edisi 441/XV

Tidak ada komentar: